Laman

Jumat, 29 Juni 2012

SEKOLAH NEGERI MILIK SIAPA?

Setiap pertengahan bulan Juni hingga awal Juli, masyarakat Indonesia selalu disibukkan dengan permasalahan pemilihan sekolah untuk putra-putrinya. Semua mengharapkan anaknya mendapat sekolah yang berkualitas. Tidak sedikit para siswa berlomba-lomba masuk sekolah favorit semisal RSBI, SBI maupun sekolah negeri biasa atau regular. Akan tetapi orang tua mereka juga dipusingkan dengan besarnya biaya yang harus dikeluarkan jika anaknya masuk RSBI atau SBI.

Untuk masuk kesekolah RSBI, calon siswa terlebih dahulu harus mengikuti serangkaian test mulai dari test tulis, test Bahasa Inggris hingga wawancara dengan orang tua calon siswa. Demikian pula untuk masuksekolah negeri regular, mereka harus mengikuti tes terlebih dahulu. Serangkaian test ini dilaksanakan dengan tujuan untuk mendapatkan input yang berkualitas. Harapan mereka (sekolah) dengan input yang baik (cerdas) akan menghasilkan output yang baik pula.
Jika semua siswa yang tergolong cerdas masuk sekolah negeri, bagaimana dengan para siswa yang mempunyai kemampuan kecerdasan biasa saja, atau bahkan dibawah rata-rata? Jawabnya pasti, mereka akan bersekolah di sekolah swasta. Dari sini kita bisa menyimpulkan telah terjadi pelanggaran hak asasi warga negara untuk mendapatkan pendidikan yang layak serta telah terjadi perbedaan kasta dalam dunia pendidikan.
Pertama, tujuan utama sekolah adalah mendidik siswa dari tidak tahu menjadi tahu, tidak bisa menjadi bisa. Akan tetapi dengan fenomena seperti ini, negara dalam hal ini sekolah negeri secara tidak langsung telah lepas tangan dalam mendidik anak-anak bangsa yang sebenarnya membutuhkan penanganan lebih dari pada anak-anak yang tergolong cerdas. Anak-anak yang membutuhkan penanganan khusus ternyata malah tidak diterima disekolah negeri, mereka sekolah disekolah swasta yang mana sarana dan prasarananya jauh dari memadai jika dibandingkan dengan sekolah negeri.
Kedua, RSBI maupun SBI dengan biaya selangit hanya bisa dijangkau oleh mereka yang punya kemampuan ekonomi lebih baik. Sedangkan mereka yang berekonomi pas-pasan sangat tidak mungkin bisa menjangkau biaya pendidikan yang begitu tinggi.
Ketiga, adanya kelas akselerasi juga telah menimbulkan "jarak" antar siswa. Dengan ruangan kelas VIP anak-anak akselerasi menerima materi belajar dengan nyaman, sedangkan siswa kelas regular rela duduk di ruangan biasa yang panas dan pengap dalam melaksanakan kegiatan belajar.
Ketiga contoh di atas membuktikan bahwa pendidikan belum bisa dinikmati oleh seluruh warga negara Indonesia. Belum lagi anak-anak yang berada dipelosok nusantara, di pulau-pulau terdepan Indonesia yang jauh dari jangkauan segala sarana baik itu transportasi maupun yang lainnya.
Mudah-mudahan pemerintah dan pejabat lainnya termasuk para anggota legislatif yang tiap bulan menerima uang rakyat untuk biaya hidupnya, "melek" mata dan hati serta telinganya, sehingga pendidikan bisa dinikmati seluruh warga negara Indonesia.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar